IMAM DI PUSARAN PERBEDAAN
“IMAM” di pusaran
“PERBEDAAN”
Peran dan fungsi
imam masjid yang sedemikian strategis dengan tugas-tugasnya yang amat penting
membuat seorang imam harus bisa memposisikan diri, Imam masjid dituntut harus memahami jiwa
jamaahnya yang beragam, baik beragam dari segi suku, paham keagamaan, latar
belakang pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, usia dan sebagainya. Memahami
jiwa jamaah ini akan membuat seorang imam bersikap dan bertindak yang bijaksana
sehingga jamaahnya tetap mau aktif di masjid dalam upaya memakmurkannya.
Perbedaan, pro dan kontra, selalu akan
muncul dalam dinamika kehidupan. Jangankan yang berasal manusia, yang berasal
dari yang Maha Benar pun, Allah azza wa jalla, menimbulkan pro dan kontra. Oleh
karena itu, perbedaan adalah sesuatu yang niscaya bagi kita, tidak bisa kita
menghindari perbedaan. Allah berfirman: “ … Sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.
Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS 5:48).
Perbedaan pendapat, dalam koridor
keilmuan merupakan rahmat bagi kita, perbedaan itu akan memperkaya pengetahuan
kita, dan ini telah dibuktikan oleh ulama-ulama besar dahulu seperti para imam
syariah Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali. Namun, yang kita sayangkan adalah perdebatan
itu kadang-kadang kita melupakan ajaran Allah yang lain, yaitu kasih sayang,
tidak jarang kita lihat kata-kata kotor meluncur begitu saja, cacian, hujatan
bahkan pengkafiran begitu mudah kita dengar justru dari kalangan yang kita kenal
berilmu.
Contoh teladan paling
baik ialah pesan Imam al-Syafi‘i kepada Imam Ahmad bin Hanbal:
Engkau lebih mengetahui akan hadits-hadits dari aku. Oleh karena itu jika ada
hadits yang sahih, beritahulah aku, baik hadits itu dari Kufah, Basrah atau
Syria. Beritahulah aku supaya aku dapat berpegang kepadanya asalkan ia adalah
sahih.
Dalam kesempatan
lain, Imam al-Syafi‘i yang mengimami shalat subuh di masjid yang bersebelahan
dengan kubur Abu Hanifah. Beliau shalat tanpa membaca doa qunut dan ketika
ditanya seseorang sehabis shalat, Imam al-Syafi‘i menjawab: Masak aku hendak
melakukan sesuatu yang berlainan dari apa yang diajarkan olehnya (Abu Hanifah)
padahal aku berada disebelahnya. Walaupun pada asalnya Imam al-Syafi‘i
berpendapat bahwa doa qunut itu sunat dibaca dalam shalat subuh tetapi
pendapatnya itu dikebelakangkan sebagai menghormati Imam Abu Hanifah yang
berpendapat doa qunut itu tidak sunat dibaca. Disamping itu al-Syafi‘i juga
tidak berqunut pada pagi itu untuk memudahkan jamaahnya yang mayoritas pada
saat itu adalah pengikut Abu Hanifah.
Selain teladan di
atas, saat itu Khalifah Abu Ja’far al-Mansur pernah membuat keputusan untuk
menjadikan kitab hadits Malik bin Anas, al-Muwattha’, sebagai kitab yang resmi
untuk seluruh wilayah Islam Dinasti Abbasiah. Akan tetapi Malik menolak
keputusan itu dengan berkata: Sesungguhnya umat Islam rata-rata berpegang dan
berpengetahuan dengan hadits dan riwayat yang mungkin kami (Malik) sendiri
tidak mengetahuinya. Jawaban Imam Malik membuktikan bahwa dia tahu ada banyak
lagi hadits-hadits yang tidak sempat diriwayatkannya dan lebih utama lagi, dia
tidak mau memaksa banyak orang menerima ‘mazhab’nya tanpa pilihan lain.
Teladan-teladan yang
ditunjukkan oleh para imam mazhab di atas dapat dijadikan pegangan dan i'tibar
oleh kita. Untuk mereka apa yang benar ialah ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dari dua sumber itulah mereka mengupas segala hukum dan ajaran untuk kebaikan
umat Islam sendiri. Adakalanya mereka luput atau kurang tepat tetapi mereka
menerima hakikat tersebut dengan sering berunding dan bertukar pendapat sesama
mereka. Sikap yang demikian perlu kita teladani dan praktikkan. Bukan
membeda-bedakan antar mazhab, membenarkan yang satu dan menyalahkan yang lain. Wallohu
A’lam
Oleh : A. Saiful Ulum, S.Sos.I
Ketua Div. Diklat & Pelatihana PD IPIM Kota Batam

0Komentar